Selasa, 02 September 2008

Ya..., Jangan Ikut Campur Urusan Orang Lain

Di antara ciri-ciri baiknya keislaman seseorang adalah dia tidak turut campur urusan orang lain.

Alangkah indahnya ungkapan tersebut ketika Anda mendengarnya dari mulut manusia yang suci. Apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw. sungguh sangat benar, yaitu perintah meninggalkan sesuatu yang bukan menjadi urusannya. Betapa banyak orang-orang yang meresahkan Anda karena dia turut campur urusan yang bukan menjadi urusannya. Dia menyibukkan diri jika melihat jam Anda, “Berapa kamu membelinya?”. Anda menjawabnya, “Ini hanya jam hadiah”. Dia berkata, “Hadiah, dari siapa?”. Anda menjawab, “Dari salah seorang sahabatku”. Dia berkata, “Sahabat Anda yang di kuliah atau teman sepermainan atau siapa?”. Anda menjawabnya, “Dia itu sahabat kuliahku”. Dia berkata lagi, “Baik, lantas karena monent apa?”. Anda menjawab, “Ya..., karena awal tahun ajaran baru”. Dia berkata lagi, “Moment apa itu, karena kamu lulus ujian? Kamu sedang tours atau..., atau barangkali...!!”.

Dia terus saja menanyakan sesuatu kepada Anda terhadap persoalan yang tidak penting. Coba pikirkan, bukankah dengan pertanyaan ini, Anda akan mengatakan, “Semestinya kamu tidak usah turut campur sesuatu yang bukan menjadi urusanmu”. Pertanyaan tersebut akan semakin menambah Anda tidak enak ketika dia menanyakan sesuatu di depan umum.

Saya teringat, suatu kali, saya berada di suatu majelis bersama dengan sahabat-sahabat saya setelah shalat Maghrib. Telepon salah seorang dari mereka berbunyi. Waktu itu, dia duduk di samping saya. Dia menjawab, “Apa? Istrinya....! Halo... Dasar keledai...!! Suaranya cukup keras hingga saya sampai mendengar dialognya. Dia berkata, “Baik. Salam saja untuk keluarga”. Nampaknya dia sudah berjanji akan datang ke rumahnya, hanya saja dia sibuk dengan urusan kami.

Istrinya marah, “Kamu malah enak-enak dengan sahabat-sahabatmu, sementara aku menunggumu. Dasar, kamu memang tidak jelas”. Dia berkata, “Semoga Allah menjagamu. Saya akan datang setelah shalat Isya”.

Aku melihat bahwa perkataannya tidak sesuai dengan perkataan istrinya. Saya lantas tahu bahwa itu dilakukan agar tidak mengganggu teman-temannya. Dia lantas menutup telepon.

Saya kemudian melihat kepada para hadirin. Saya berkhayal, jika ada salah seorang dari mereka ada yang bertanya, siapa yang tadi meneleponmu? Apa yang dia inginkan darimu? Kenapa setelah telepon wajahmu jadi berubah? Namun Allah masih merahmatinya. Tidak ada orang yang menanyakan sesuatu yang bukan menjadi urusannya.

Contoh lain, ketika Anda mengunjungi orang sakit, kemudian Anda bertanya tentang sakitnya, kemudian dia menjawab dengan ungkapan yang umum saja, “Al-Hamdulilah, hanya sakit ringan. Penyakit kecil saja kok”. Sudah, hanya demikian jawabannya. Atau ungkapan lain yang tidak secara pasti memberi tahu tentang penyakitnya.

Aneh, apa urusannya kita mengganggunya?

Di antara ciri-ciri baiknya keislaman seseorang adalah dia tidak turut campur urusan orang lain. Maksudnya, Anda cukup saja menunggu, dia memberitahu Anda, “Aku sakit bawasir, atau, aku terluka di bagian ini, atau yang lainnya.

Selama dia memberikan jawaban yang bersifat umum, tidak perlu kita memperpanjang pembicaraan. Bukan berarti tidak boleh menanyakan tentang penyakit yang sedang dia derita? Tapi yang saya maksudkan adalah jangan terlalu detail dalam bertanya.

Demikian juga, seperti orang yang memanggil siswanya di pertemuan umum, dia bertanya dengan suara keras, “Ahmad, apakah kamu lulus? Dia menjawab, “Ya”. Dia bertanya lagi, “Berapa nilai rata-ratamu? Kamu ringking berapa?”.

Jika kamu benar kamu menaruh perhatian padanya, tanyalah ketika kamu berdua. Namun tidak perlu terlalu mendetail. “Berapa nilai rata-ratamu, kenapa kamu tidak belajar? Mengapa kamu tidak diterima di universitas?” Jika Anda ingin membantunya, bantulah dan katakan sesuai dengan yang Anda inginkan. Namun, Anda bertanya macam-macam di depan orang banyak, ini sama sekali tidak layak. Rasulullah saw. bersabda, “Di antara ciri-ciri baiknya keislaman seseorang adalah dia tidak turut campur terhadap urusan orang lain”.

Hati-hati, jangan Anda membesar-besarkan persoalan.

Belum lama ini saya pergi ke madinah. Saya sibuk dengan beberapa ceramah. Saya menjalin kesepakatan kepada seorang pemuda yang sopan untuk membawa anak saya Abdurrahman dan Ibrahim setelah shalat Ashar ke pak kiai untuk menghafal al-Qur'an, atau pergi ke tempat rekreasi musim panas, setelah shalat Isya harap mereka dibawa pulang.

Waktu itu, Abdurrahman baru berumur sepuluh tahun. Saya takut, pemuda itu akan menanyakan sesuatu yang tidak perlu. Siapa nama ibumu? Di mana tempat tinggalmu? Berapa jumlah saudaramu? Berapa uang saku yang diberikan ayahmu? Saya lantas mengingatkan Abdurrahman dengan mengatakan, “Jika dia bertanya sesuatu yang tidak layak, jawab saja, “Di antara ciri-ciri baiknya keislaman seseorang adalah dia tidak turut campur terhadap urusan orang lain”. Hadits itu saya baca berulang-ulang hingga dia hafal. Abdurrahman bersama dengan saudaranya berangkat dengan pemuda tadi. Pemuda itu berkata dengan penuh kelembutan, “Bagaimana kabarmu Abdurrahman?”. Dia menjawab, “Baik”. Pemuda itu ingin agar suasana tidak terlalu kaku. Dia bertanya, “Syeikh sekarang sedang mengisi ceramah ya?”. Abdurrahman berusaha mengingat-ingat hadits yang tadi dia hafal, namun dia tidak dapat mengingatnya. Dengan jujur, dia berkata, “Kamu tidak perlu mengurusi sesuatu yang bukan menjadi urusanmu”. Pemuda itu berkata, “Bukan maksudku demikian. Aku hanya ingin hadir untuk menimba ilmunya”.

Abdurrahman mengira bahwa pemuda ini hanya ingin mengakalinya. Dia kembali berkata, “Kamu tidak perlu mengurusi sesuatu yang bukan menjadi urusanmu”. Pemuda itu berkata, “Maaf Abdurrahman. Maksudku.... “. Abdurrahman teriak dengan mengatakan, “Kamu tidak perlu mengurusi sesuatu yang bukan menjadi urusanmu”. Dia selalu menjawab demikian hingga dia pulang ke rumah. Abdurrahman menceritakan kisah ini kepada saya dengan penuh bangga. Saya jadi tertawa. Tapi saya semakin memahaminya.

Tidak ada komentar: